“Biasanya bersamaan dengan Keraton Yogyakarta,” kata Sri Suranto (68), panitia Tapa Bisu Mubeng Beteng dari Kawula Jogja.
Tapa Bisu ini bertujuan memohon perlindungan dan keselamatan. Karena belakangan ini Jogyakarta sedang diberi ujian berat berupa bencana Merapi dan polemik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta. “Kami berharap Allah SWT memberikan yang terbaik untuk Jogyakarta,” ujar Suranto.
Pada ritual tersebut, mereka membawa panji-panji yang melambangkan keragaman. Barisan paling depan terlihat seorang membawa payung melambangkan pemohonan perlindungan Allah SWT. “Kami mengalungkan janur kuning yang menyimbolkan nur atau cahaya sebagai simbol kesucian hati,” jelas Suranto.
Ritual ini dimulai dari gerbang Keraton Yogyakarta dan berakhir di tempat yang sama. Rute yang ditempuh sejauh lima kilometer melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, Jalan Letjen MT Haryono. Kemudian melalui Jalan Mayjen Sutoyo, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, dan Jalan Ibu Ruswo.
Di sepanjang jalan yang mereka lalui, disebarkan beberapa benda seperti lepek dari tembikar, janur, beras, uang receh dan bunga. Masyarakat antusias berebut sesajian itu. Bahkan ada seorang ibu yang memaksa meminta janur kuning yang dikalungkan pada seorang sesepuh.
Nana (19), Mahasiswi asal Batam mengaku penasaran pada ritual tahunan ini. “Unik, karena di tempat saya tidak ada,” kisahnya. Nana datang bersama lima orang temannya yang juga ingin menyaksikan acara tersebut.
Sumber : www.tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar